Rabu, 24 Juli 2013

Islam Di Aceh

0

Syiar Islam ke Aceh sudah terjadi sejak awal perkembangannya, ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, yang dilakukan oleh para saudagar Arab yang memang sudah hilir-mudik berda­gang dari Mesir, Aden, Muscat, Persia, Gujarat, ke Cina, melalui Barus-Fansur, yang dipastikan terletak di ujung barat Pulau Sumatera.
Syiar Islam di Aceh mengalami pun­caknya pada zaman Khalifah Rasyidin, terutama di zaman pemerintahan Khali­fah Umar bin Khaththab, yang gencar mengirimkan para duta yang merangkap sebagai pendakwah Islam sampai ke negeri Cina, pada sekitar awal abad VII Masehi.
Para pembawa Islam datang lang­sung dari Semenanjung Arabia, mereka adalah utusan resmi Khalifah atau para pedagang Islam yang memang telah memiliki hubungan perdagangan dengan Aceh, sebagai daerah persinggahan da­lam perjalanan menuju Cina.
Sebelum Islam datang, dunia Arab dan dunia Melayu sudah menjalin hu­bungan dagang yang erat, sebagai dam­pak hubungan dagang Arab-Cina melalui jalur laut yang telah menumbuhkan per­kampungan-perkampungan Arab, Persia, Hindia, dan lainnya di sepanjang pesisir Pulau Sumatera. Letak geografisnya yang sangat strategis di ujung barat Sumatera menjadikan Aceh sebagai kota pelabuhan transit yang berkembang pe­sat, terutama untuk mempersiapkan lo­gistik dalam pelayaran, yang akan me­nempuh samudera luas perjalanan dari Cina menuju Persia ataupun Arab.
Hadirnya pelabuhan transito sekali­gus kota perdagangan seperti Barus, Fansur, Lamri, Jeumpa, dan lainnya, de­ngan komuditas unggulan seperti kafur (kapur), yang memiliki banyak manfaat dan kegunaan, telah melambungkan wi­layah asalnya dalam jajaran kota pertum­buhan peradaban dunia.
“Kafur barus”, “kafur fansur”, “kafur ba­rus min Fansur” (kapur barus dari Fan­sur) pun menjadi idiom kemewahan para raja dan bangsawan di Yunani, Romawi, Mesir, Persia, dan lainnya. Kedudukan Barus-Fansur lebih kurang seperti ke­dudukan Paris saat ini, yang terkenal de­ngan inovasi minyak wangi mewahnya.
Hadirnya komoditas unggulan ini te­lah melahirkan berbagai teknologi pengo­lahan dalam penanganannya. Karena sangat dibutuhkan sebagai bahan obat-obatan, wangi-wangian, ataupun sebagai barang sakral dalam ritus keagamaan pagan, asal kafur dan wilayah sekitarnya berkembang pesat. Para petani, peda­gang, pengolah, peneliti, tabib, sampai tu­kang sihir, terlibat dalam proses pembuat­an kafur yang bermutu.
Hal tersebut mengakibatkan hadirnya para pakar ke kota penghasil kafur dan mem­buat komunitas baru sesuai dengan peran masing-masing. Itu pula sebabnya, wajah orang Aceh berbeda dengan wajah orang Jawa, Makassar, ataupun Melayu. Wajah mereka lebih kosmopolit, yang me­rupakan perpaduan dari keturunan Arab, Cina, India, Parsi, dan tentunya Ero­pa. Dan perpaduan ini telah berjalan ber­abad-abad sebelum kedatangan Islam di wilayah ini.
Jalur Perdagangan
Sejak dahulu perdagangan antara ne­gara-negara Timur dengan Timur Tengah dan Eropa berlangsung lewat dua jalur: jalur darat dan jalur laut.
Jalur darat, yang juga disebut “jalur sutra” (silk road), dimulai dari Cina Utara lewat Asia Tengah dan Turkistan terus ke Laut Tengah. Jalur perdagangan ini, yang menghubungkan Cina dan India dengan Eropa, merupakan jalur tertua yang sudah dikenal sejak 500 tahun se­belum Masehi.
Sedangkan jalan laut dimulai dari Cina (Semenanjung Shantung) dan Indo­nesia, melalui Selat Malaka ke India; dari sini ke Laut Tengah dan Eropa, ada yang melalui Teluk Persia dan Suriah, dan ada juga yang melalui Laut Merah dan Mesir. Diduga, perdagangan lewat laut antara Laut Merah, Cina, dan Indonesia sudah ber­jalan sejak abad pertama sesudah Ma­sehi (D.H.Burger dan Prajudi, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia).
Akan tetapi, karena sering terjadi gang­guan keamanan pada jalur perda­gangan darat di Asia Tengah, sejak tahun 500 Masehi perdagangan Timur-Barat me­lalui laut (Selat Malaka) menjadi se­makin ramai. Lewat jalan ini kapal-kapal Arab, Persia, dan India mondar-mandir dari Barat ke Timur dan terus ke negeri Cina dengan memanfaatkan angin mu­sim, untuk pelayaran pulang pergi. Kapal-kapal Sumatera turut mengambil bagian dalam perdagangan tersebut. Sebagai­mana disebutkan Meilink-Roelofsz dalam Asian Trade and European Influence in the Indonesia Archipelago, pada zaman Sriwijaya mereka mengunjungi pelabuh­an-pelabuhan Cina dan pantai timur Afrika.
Ramainya lalu lintas pelayaran di Selat Malaka telah menumbuhkan kota-kota pelabuhan yang terletak di bagian ujung utara Pulau Sumatera. Perkem­bang­an perdagangan yang semakin ba­nyak di antara Arab, Cina, dan Eropa me­lalui jalur laut telah menjadikan kota pela­buhan semakin ramai, termasuk di wila­yah Aceh, yang diketahui telah memiliki be­berapa kota pelabuhan yang umumnya terdapat di beberapa delta sungai. Kota-kota pelabuhan ini dijadikan sebagai kota transit atau kota perdagangan.
Kekerabatan dengan Walisanga
Berdasarkan fakta-fakta historis ter­sebut, keberadaan Kerajaan Islam Jeum­pa Aceh, yang diperkirakan berdiri pada abad ke-7 Masehi dan berada di sekitar Kabupaten Bireuen sekarang, menjadi sangat logis.
Banyak ahli sejarah yang rancu ter­hadap sebuah tempat bernama “Champa” (lidah Jawa menyebut “Cempa”), yang pada akhirnya menimbulkan kegelapan dan kerancuan luar biasa pada sejarah Islam Nusantara. Kekaburan ini umum­nya disebabkan para ahli hanya mengutip pendapat-pendapat yang sudah ada tan­pa mengadakan pengkajian lebih dalam dan lebih mendetail dari berbagai aspek. Kemalasan intelektual ini hanya mema­hami Champa sebagai sebuah kata yang sudah bercampur dengan berbagai mitos, legenda, dan cerita masyarakat yang tidak berdasarkan fakta ilmiah. Bukan Champa sebagai sebuah realitas sejarah berdasarkan penelitian sejarah berbagai aspek yang berkaitan dengannya.
Sebagaimana kerajaan-kerajaan pur­ba pra-Islam yang banyak terdapat di se­kitar Pulau Sumatera, Kerajaan Jeumpa juga tumbuh dari permukiman-permukim­an penduduk yang semakin banyak aki­bat ramainya perdagangan dan memiliki daya tarik bagi kota persinggahan. Me­lihat topografinya, Kuala Jeumpa sebagai kota pelabuhan memang tempat yang indah dan sesuai untuk peristirahatan setelah melalui perjalanan panjang.
Kerajaan Jeumpa Aceh, berdasarkan Ikhtisar Radja Jeumpa, yang ditulis Ibrahim Abduh, yang disadurnya dari Hikayat Radja Jeumpa, adalah sebuah kerajaan yang benar keberadaannya pada sekitar abad ke-7 Masehi yang berada di sekitar daerah perbukitan mulai dari pinggir Sungai Peudada di sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di sebelah timur. Istana Raja Jeumpa terletak di Desa Blang Seupeueng, yang di­pagari di sebelah utara, sekarang di­sebut Cot Cibrek Pintoe Ubeuet.
Masa itu, Desa Blang Seupeueng me­rupakan permukiman yang padat pendu­duknya dan juga merupakan kota bandar pelabuhan besar, yang terletak di Kuala Jeumpa. Dari Kuala Jeumpa sampai Blang Seupeueng, ada sebuah alur yang besar, biasanya dilalui oleh kapal-kapal dan perahu-perahu kecil. Alur dari Kuala Jeumpa tersebut membelah Desa Cot Bada langsung ke Cot Cut Abeuk Usong atau ke “Pintou Rayeuk” (pintu besar).
Setelah tampilnya Kerajaan Islam Perlak sebagai pusat pertumbuhan per­dagangan dan kota pelabuhan yang baru, peran Kerajaan Islam Jeumpa menjadi ku­rang menonjol. Namun demikian, ke­rajaan ini tetap eksis, yang mungkin ber­ubah fungsi sebagai sebuah kota pendi­dikan bagi kader-kader ulama dan pen­dakwah Islam.
Karena diketahui bahwa Putri Jeum­pa yang menjadi ibunda Raden Fatah adalah kemenakan Sunan Ampel, berarti Raja Jeumpa masa itu bersaudara de­ngan Sunan Ampel. Sementara Sunan Ampel adalah kemenakan Maulana Malik Ibrahim, yang artinya kakek, mungkin saudara dari kakek Putri Jeumpa. Tam­pak di sini, para wali generasi awal di ta­nah Jawa memiliki hubungan kekerabat­an dengan Kerajaan Jeumpa.
Runtuhnya Majapahit
Setelah berdirinya beberapa kerajaan Islam baru sebagai pusat Islamisasi Nu­santara seperti Kerajaan Islam Perlak (840-an) dan Kerajaan Islam Pasai (1200-an), Kerajaan Islam Jeumpa, yang men­jalin kerja sama diplomatik, tetap memiliki peran besar dalam Islamisasi Nusantara, khususnya dalam penaklukan beberapa kerajaan besar Jawa-Hindu seperti Maja­pahit misalnya.
Dikisahkan, raja terakhir Majapahit, Brawijaya V, memiliki seorang istri yang berasal dari Jeumpa (Champa), yang me­nurut pendapat Raffless berada di wila­yah Aceh dan bukan di Kamboja sebagai­mana dipahami selama ini.
Putri cantik jelita yang terkenal de­ngan nama Putri Jeumpa (Putri Champa) ini adalah anak dari salah seorang raja muslim Jeumpa yang juga kemenakan Sunan Ampel dan Maulana Malik Ibrahim. Mereka adalah para awliya’ keturunan Nabi Muhammad SAW yang dilahirkan, dibesarkan, dan dididik di wilayah Aceh, baik Jeumpa, Perlak, Pasai, Kedah, Pattani, dan sekitarnya. Mereka pulalah para arsitek atau konseptor penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit.
Perkawinan putri muslim Jeumpa de­ngan raja terakhir Majapahit melahirkan Raden Fatah, yang dididik dan dibesar­kan oleh para wali, yang selanjutnya di­nobatkan sebagai sultan di Kerajaan Islam Demak, yang diketahui sebagai Kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Kehadiran kerajaan Islam Demak ini meng­akhiri riwayat kegemilangan Keraja­an Jawa-Hindu Majapahit.
Negeri yang Harum
Setelah Kerajaan Islam Perlak yang berdiri pada tahun 805 Masehi tumbuh dan berkembang, pusat aktivitas Islami­sasi Nusantara pun berpindah ke wilayah ini.
Dapat dikatakan, Kerajaan Islam Per­lak adalah kelanjutan atau pengem­bang­an dari Kerajaan Islam Jeumpa yang su­dah mulai menurun peranannya. Namun, secara diplomatik, kedua kerajaan ini me­rupakan sebuah keluarga yang terikat de­ngan aturan Islam yang mengutamakan persaudaraan.
Dengan demikian, jelaslah Champa yang dimaksud dalam sejarah pengem­bangan Islam Nusantara selama ini, yang menjadi tempat persinggahan dan per­juangan awal Maulana Malik Ibrahim. Asal “Putri Champa” atau asal kelahiran Raden Rahmat (Sunan Ampel) bukanlah Champa yang ada di Kamboja-Vietnam saat ini. Melainkan, sebagaimana juga dinyatakan Raffles, Champa adalah Jeumpa, dengan kota perdagangan Bireuen, yang menjadi bandar pelabuhan per­singgahan dan laluan kota-kota metro­polis zaman itu, seperti Fansur, Barus, dan Lamuri, di ujung barat Pulau Suma­tera, dengan wilayah Samudera Pasai ataupun Perlak di daerah sebelah timur, yang tumbuh makmur dan maju.
Sementara, menurut beberapa catat­an, Champa di Kamboja masa itu sedang diperintah Che Beng Nga, tahun 1360-1390 Masehi, yang dikenal dengan The Red King (Raja Merah), seorang raja ter­kuat dan terakhir Champa. Tidak dike­tahui apakah raja ini muslim atau seorang penganut Buddha, sebagaimana mayo­ritas penduduk Kamboja masa ini dengan banyak peninggalan kuil-kuilnya.
Che Bong Nga berhasil menyatukan dan mengkoordinasikan seluruh kekuat­an Champa pada kekuasaannya, dan pada tahun 1372 menyerang Vietnam me­lalui jalur laut. Champa berhasil me­masuki kota besar Hanoi pada 1372 dan 1377. Pada penyerangan terakhir tahun 1388, ia dikalahkan oleh Jenderal Viet­nam Ho Quy Ly, pendiri Dinasti Ho. Che Bong Nga meninggal dua tahun kemudi­an pada 1390. Tidak banyak catatan hu­bungan penguasa Champa ini dengan Islam, apalagi bekas-bekas kegemilang­an Islam, sebagaimana yang ditinggalkan para pendakwah di Perlak, Pasai, atau­pun Malaka.
Menurut hasil observasi terkini, di se­kitar daerah yang diperkirakan sebagai tapak Maligai Kerajaan Jeumpa sekitar 80 meter ke selatan yang dikenal dengan Buket Teungku Keujereun, ditemukan be­be­rapa barang peninggalan kerajaan, seperti kolam mandi kerajaan seluas 20 x 20 m, kaca jendela, porselin, dan juga ditemukan semacam cincin dan kalung rantai yang panjangnya sampai ke lutut dan anting sebesar gelang tangan. Di sekitar daerah ini pula ditemukan sebuah bukit yang diyakini sebagai pemakaman raja Jeumpa dan kerabatnya yang hanya ditandai dengan batu-batu besar yang di­tumbuhi pepohonan rindang di sekitar­nya.
Sebelum kedatangan Islam, di daerah Jeumpa sudah berdiri salah satu kerajaan Hindu Purba Aceh yang di­pimpin turun-te­­murun oleh seorang meurah, gelar bagi orang terpandang di sana. Kemudian, da­tanglah seorang pemuda tampan ber­nama Abdullah, yang memasuki pusat ke­rajaan di kawasan Blang Seupeueng de­ngan kapal niaga yang datang dari India belakang (Parsi?) untuk berdagang. Ia me­masuki negeri Blang Seupeueng me­lalui laut lewat Kuala Jeumpa, sekitar awal abad VIII Masehi, dan negeri ini su­dah ter­kenal dan mempunyai hubungan perda­gangan dengan Cina, India, Arab, dan lainnya.
Selanjutnya Abdullah tinggal bersama penduduk dan mensyiarkan agama Islam. Rakyat di negeri tersebut dengan mudah menerima Islam, karena tingkah laku, sifat, dan karakternya yang sopan dan sangat ramah.
Abdullah, yang disebut-sebut sebagai ayah Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), kemudian dinikahkan dengan putri Raja bernama Ratna Kumala, sampai akhir­nya ia dinobatkan menjadi raja meng­gantikan mertuanya.
Wilayah kekuasaan Abdullah diberi nama “Kerajaan Jeumpa”, sesuai dengan nama negeri asalnya di India Belakang (Persia) yang bernama “Champia”, yang arti­nya harum, wangi, dan semerbak. Se­mentara Bireuen sebagai ibu kotanya ber­arti kemenangan, sama dengan Jaya­karta (Jakarta) dalam bahasa Jawa.
Wallahu a’lam.

sumber: http://www.majalah-alkisah.com/index.php/dunia-islam/2288-islam-di-aceh--berawal-dari-kerajaan-jeumpa

IY, disarikan dari tulisan Hilmy Bakar berjudul Kerajaan Jeumpa Aceh: Kerajaan Islam Pertama di Aceh dan Nusantara menurut Teori, Data, dan Pandangan Ahli Sejarah

0 tanggapan:

Posting Komentar

Terimakasih atas kunjungannya dalam demensi lain mank obyd

 
Design by ThemeShift | Bloggerized by Lasantha - Free Blogger Templates | Best Web Hosting