Syiar Islam ke Aceh sudah terjadi sejak awal perkembangannya, ketika
Nabi Muhammad SAW masih hidup, yang dilakukan oleh para saudagar Arab
yang memang sudah hilir-mudik berdagang dari Mesir, Aden, Muscat,
Persia, Gujarat, ke Cina, melalui Barus-Fansur, yang dipastikan terletak
di ujung barat Pulau Sumatera.
Syiar Islam di Aceh mengalami puncaknya pada zaman Khalifah Rasyidin, terutama di zaman pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab,
yang gencar mengirimkan para duta yang merangkap sebagai pendakwah Islam
sampai ke negeri Cina, pada sekitar awal abad VII Masehi.
Para pembawa Islam datang langsung dari Semenanjung Arabia, mereka
adalah utusan resmi Khalifah atau para pedagang Islam yang memang telah
memiliki hubungan perdagangan dengan Aceh, sebagai daerah persinggahan
dalam perjalanan menuju Cina.
Sebelum Islam datang, dunia Arab dan dunia Melayu sudah menjalin
hubungan dagang yang erat, sebagai dampak hubungan dagang Arab-Cina
melalui jalur laut yang telah menumbuhkan perkampungan-perkampungan
Arab, Persia, Hindia, dan lainnya di sepanjang pesisir Pulau Sumatera.
Letak geografisnya yang sangat strategis di ujung barat Sumatera
menjadikan Aceh sebagai kota pelabuhan transit yang berkembang pesat,
terutama untuk mempersiapkan logistik dalam pelayaran, yang akan
menempuh samudera luas perjalanan dari Cina menuju Persia ataupun Arab.
Hadirnya pelabuhan transito sekaligus kota perdagangan seperti
Barus, Fansur, Lamri, Jeumpa, dan lainnya, dengan komuditas unggulan
seperti kafur (kapur), yang memiliki banyak manfaat dan kegunaan, telah
melambungkan wilayah asalnya dalam jajaran kota pertumbuhan peradaban
dunia.
“Kafur barus”, “kafur fansur”, “kafur barus min Fansur” (kapur barus
dari Fansur) pun menjadi idiom kemewahan para raja dan bangsawan di
Yunani, Romawi, Mesir, Persia, dan lainnya. Kedudukan Barus-Fansur
lebih kurang seperti kedudukan Paris saat ini, yang terkenal dengan
inovasi minyak wangi mewahnya.
Hadirnya komoditas unggulan ini telah melahirkan berbagai teknologi
pengolahan dalam penanganannya. Karena sangat dibutuhkan sebagai bahan
obat-obatan, wangi-wangian, ataupun sebagai barang sakral dalam ritus
keagamaan pagan, asal kafur dan wilayah sekitarnya berkembang pesat.
Para petani, pedagang, pengolah, peneliti, tabib, sampai tukang sihir,
terlibat dalam proses pembuatan kafur yang bermutu.
Hal tersebut mengakibatkan hadirnya para pakar ke kota penghasil
kafur dan membuat komunitas baru sesuai dengan peran masing-masing. Itu
pula sebabnya, wajah orang Aceh berbeda dengan wajah orang Jawa,
Makassar, ataupun Melayu. Wajah mereka lebih kosmopolit, yang merupakan
perpaduan dari keturunan Arab, Cina, India, Parsi, dan tentunya Eropa.
Dan perpaduan ini telah berjalan berabad-abad sebelum kedatangan Islam
di wilayah ini.
Jalur Perdagangan
Jalur darat, yang juga disebut “jalur sutra” (silk road),
dimulai dari Cina Utara lewat Asia Tengah dan Turkistan terus ke Laut
Tengah. Jalur perdagangan ini, yang menghubungkan Cina dan India dengan
Eropa, merupakan jalur tertua yang sudah dikenal sejak 500 tahun
sebelum Masehi.
Sedangkan jalan laut dimulai dari Cina (Semenanjung Shantung) dan
Indonesia, melalui Selat Malaka ke India; dari sini ke Laut Tengah dan
Eropa, ada yang melalui Teluk Persia dan Suriah, dan ada juga yang
melalui Laut Merah dan Mesir. Diduga, perdagangan lewat laut antara Laut
Merah, Cina, dan Indonesia sudah berjalan sejak abad pertama sesudah
Masehi (D.H.Burger dan Prajudi, Sejarah Ekonomis Sosiologis Indonesia).
Akan tetapi, karena sering terjadi gangguan keamanan pada jalur
perdagangan darat di Asia Tengah, sejak tahun 500 Masehi perdagangan
Timur-Barat melalui laut (Selat Malaka) menjadi semakin ramai. Lewat
jalan ini kapal-kapal Arab, Persia, dan India mondar-mandir dari Barat
ke Timur dan terus ke negeri Cina dengan memanfaatkan angin musim,
untuk pelayaran pulang pergi. Kapal-kapal Sumatera turut mengambil
bagian dalam perdagangan tersebut. Sebagaimana disebutkan
Meilink-Roelofsz dalam Asian Trade and European Influence in the Indonesia Archipelago, pada zaman Sriwijaya mereka mengunjungi pelabuhan-pelabuhan Cina dan pantai timur Afrika.
Ramainya lalu lintas pelayaran di Selat Malaka telah menumbuhkan
kota-kota pelabuhan yang terletak di bagian ujung utara Pulau Sumatera.
Perkembangan perdagangan yang semakin banyak di antara Arab, Cina,
dan Eropa melalui jalur laut telah menjadikan kota pelabuhan semakin
ramai, termasuk di wilayah Aceh, yang diketahui telah memiliki
beberapa kota pelabuhan yang umumnya terdapat di beberapa delta sungai.
Kota-kota pelabuhan ini dijadikan sebagai kota transit atau kota
perdagangan.
Berdasarkan fakta-fakta historis tersebut, keberadaan Kerajaan Islam
Jeumpa Aceh, yang diperkirakan berdiri pada abad ke-7 Masehi dan
berada di sekitar Kabupaten Bireuen sekarang, menjadi sangat logis.
Banyak ahli sejarah yang rancu terhadap sebuah tempat bernama “Champa” (lidah Jawa menyebut “Cempa”), yang pada akhirnya menimbulkan
kegelapan dan kerancuan luar biasa pada sejarah Islam Nusantara.
Kekaburan ini umumnya disebabkan para ahli hanya mengutip
pendapat-pendapat yang sudah ada tanpa mengadakan pengkajian lebih
dalam dan lebih mendetail dari berbagai aspek. Kemalasan intelektual ini
hanya memahami Champa sebagai sebuah kata yang sudah bercampur dengan
berbagai mitos, legenda, dan cerita masyarakat yang tidak berdasarkan
fakta ilmiah. Bukan Champa sebagai sebuah realitas sejarah berdasarkan
penelitian sejarah berbagai aspek yang berkaitan dengannya.
Sebagaimana kerajaan-kerajaan purba pra-Islam yang banyak terdapat
di sekitar Pulau Sumatera, Kerajaan Jeumpa juga tumbuh dari
permukiman-permukiman penduduk yang semakin banyak akibat ramainya
perdagangan dan memiliki daya tarik bagi kota persinggahan. Melihat
topografinya, Kuala Jeumpa sebagai kota pelabuhan memang tempat yang
indah dan sesuai untuk peristirahatan setelah melalui perjalanan
panjang.
Kerajaan Jeumpa Aceh, berdasarkan Ikhtisar Radja Jeumpa, yang ditulis Ibrahim Abduh, yang disadurnya dari Hikayat Radja Jeumpa,
adalah sebuah kerajaan yang benar keberadaannya pada sekitar abad ke-7
Masehi yang berada di sekitar daerah perbukitan mulai dari pinggir
Sungai Peudada di sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di sebelah
timur. Istana Raja Jeumpa terletak di Desa Blang Seupeueng, yang
dipagari di sebelah utara, sekarang disebut Cot Cibrek Pintoe Ubeuet.
Masa itu, Desa Blang Seupeueng merupakan permukiman yang padat
penduduknya dan juga merupakan kota bandar pelabuhan besar, yang
terletak di Kuala Jeumpa. Dari Kuala Jeumpa sampai Blang Seupeueng, ada
sebuah alur yang besar, biasanya dilalui oleh kapal-kapal dan
perahu-perahu kecil. Alur dari Kuala Jeumpa tersebut membelah Desa Cot
Bada langsung ke Cot Cut Abeuk Usong atau ke “Pintou Rayeuk” (pintu
besar).
Setelah tampilnya Kerajaan Islam Perlak sebagai pusat pertumbuhan
perdagangan dan kota pelabuhan yang baru, peran Kerajaan Islam Jeumpa
menjadi kurang menonjol. Namun demikian, kerajaan ini tetap eksis,
yang mungkin berubah fungsi sebagai sebuah kota pendidikan bagi
kader-kader ulama dan pendakwah Islam.
Karena diketahui bahwa Putri Jeumpa yang menjadi ibunda Raden Fatah
adalah kemenakan Sunan Ampel, berarti Raja Jeumpa masa itu bersaudara
dengan Sunan Ampel. Sementara Sunan Ampel adalah kemenakan Maulana
Malik Ibrahim, yang artinya kakek, mungkin saudara dari kakek Putri
Jeumpa. Tampak di sini, para wali generasi awal di tanah Jawa memiliki
hubungan kekerabatan dengan Kerajaan Jeumpa.
Runtuhnya Majapahit
Setelah berdirinya beberapa kerajaan Islam baru sebagai pusat
Islamisasi Nusantara seperti Kerajaan Islam Perlak (840-an) dan
Kerajaan Islam Pasai (1200-an), Kerajaan Islam Jeumpa, yang menjalin
kerja sama diplomatik, tetap memiliki peran besar dalam Islamisasi
Nusantara, khususnya dalam penaklukan beberapa kerajaan besar Jawa-Hindu
seperti Majapahit misalnya.
Dikisahkan, raja terakhir Majapahit, Brawijaya V, memiliki seorang
istri yang berasal dari Jeumpa (Champa), yang menurut pendapat Raffless
berada di wilayah Aceh dan bukan di Kamboja sebagaimana dipahami
selama ini.
Putri cantik jelita yang terkenal dengan nama Putri Jeumpa (Putri
Champa) ini adalah anak dari salah seorang raja muslim Jeumpa yang juga
kemenakan Sunan Ampel dan Maulana Malik Ibrahim. Mereka adalah para
awliya’ keturunan Nabi Muhammad SAW yang dilahirkan, dibesarkan, dan
dididik di wilayah Aceh, baik Jeumpa, Perlak, Pasai, Kedah, Pattani, dan
sekitarnya. Mereka pulalah para arsitek atau konseptor penaklukan
Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit.
Perkawinan putri muslim Jeumpa dengan raja terakhir Majapahit
melahirkan Raden Fatah, yang dididik dan dibesarkan oleh para wali,
yang selanjutnya dinobatkan sebagai sultan di Kerajaan Islam Demak,
yang diketahui sebagai Kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Kehadiran kerajaan Islam Demak ini mengakhiri riwayat kegemilangan Kerajaan
Jawa-Hindu Majapahit.
Negeri yang Harum
Setelah Kerajaan Islam Perlak yang berdiri pada tahun 805 Masehi
tumbuh dan berkembang, pusat aktivitas Islamisasi Nusantara pun
berpindah ke wilayah ini.
Dapat dikatakan, Kerajaan Islam Perlak adalah kelanjutan atau
pengembangan dari Kerajaan Islam Jeumpa yang sudah mulai menurun
peranannya. Namun, secara diplomatik, kedua kerajaan ini merupakan
sebuah keluarga yang terikat dengan aturan Islam yang mengutamakan
persaudaraan.
Dengan demikian, jelaslah Champa yang dimaksud dalam sejarah
pengembangan Islam Nusantara selama ini, yang menjadi tempat
persinggahan dan perjuangan awal Maulana Malik Ibrahim. Asal “Putri
Champa” atau asal kelahiran Raden Rahmat (Sunan Ampel) bukanlah Champa
yang ada di Kamboja-Vietnam saat ini. Melainkan, sebagaimana juga
dinyatakan Raffles, Champa adalah Jeumpa, dengan kota perdagangan
Bireuen, yang menjadi bandar pelabuhan persinggahan dan laluan
kota-kota metropolis zaman itu, seperti Fansur, Barus, dan Lamuri, di
ujung barat Pulau Sumatera, dengan wilayah Samudera Pasai ataupun
Perlak di daerah sebelah timur, yang tumbuh makmur dan maju.
Che Bong Nga berhasil menyatukan dan mengkoordinasikan seluruh
kekuatan Champa pada kekuasaannya, dan pada tahun 1372 menyerang
Vietnam melalui jalur laut. Champa berhasil memasuki kota besar Hanoi
pada 1372 dan 1377. Pada penyerangan terakhir tahun 1388, ia dikalahkan
oleh Jenderal Vietnam Ho Quy Ly, pendiri Dinasti Ho. Che Bong Nga
meninggal dua tahun kemudian pada 1390. Tidak banyak catatan hubungan
penguasa Champa ini dengan Islam, apalagi bekas-bekas kegemilangan
Islam, sebagaimana yang ditinggalkan para pendakwah di Perlak, Pasai,
ataupun Malaka.
Menurut hasil observasi terkini, di sekitar daerah yang diperkirakan
sebagai tapak Maligai Kerajaan Jeumpa sekitar 80 meter ke selatan yang
dikenal dengan Buket Teungku Keujereun, ditemukan beberapa barang
peninggalan kerajaan, seperti kolam mandi kerajaan seluas 20 x 20 m,
kaca jendela, porselin, dan juga ditemukan semacam cincin dan kalung
rantai yang panjangnya sampai ke lutut dan anting sebesar gelang tangan.
Di sekitar daerah ini pula ditemukan sebuah bukit yang diyakini sebagai
pemakaman raja Jeumpa dan kerabatnya yang hanya ditandai dengan
batu-batu besar yang ditumbuhi pepohonan rindang di sekitarnya.
Sebelum kedatangan Islam, di daerah Jeumpa sudah berdiri salah satu
kerajaan Hindu Purba Aceh yang dipimpin turun-temurun oleh seorang
meurah, gelar bagi orang terpandang di sana. Kemudian, datanglah
seorang pemuda tampan bernama Abdullah, yang memasuki pusat kerajaan
di kawasan Blang Seupeueng dengan kapal niaga yang datang dari India
belakang (Parsi?) untuk berdagang. Ia memasuki negeri Blang Seupeueng
melalui laut lewat Kuala Jeumpa, sekitar awal abad VIII Masehi, dan
negeri ini sudah terkenal dan mempunyai hubungan perdagangan dengan
Cina, India, Arab, dan lainnya.
Selanjutnya Abdullah tinggal bersama penduduk dan mensyiarkan agama
Islam. Rakyat di negeri tersebut dengan mudah menerima Islam, karena
tingkah laku, sifat, dan karakternya yang sopan dan sangat ramah.
Abdullah, yang disebut-sebut sebagai ayah Syarif Hidayatullah (Sunan
Gunung Jati), kemudian dinikahkan dengan putri Raja bernama Ratna
Kumala, sampai akhirnya ia dinobatkan menjadi raja menggantikan
mertuanya.
Wilayah kekuasaan Abdullah diberi nama “Kerajaan Jeumpa”, sesuai
dengan nama negeri asalnya di India Belakang (Persia) yang bernama
“Champia”, yang artinya harum, wangi, dan semerbak. Sementara Bireuen
sebagai ibu kotanya berarti kemenangan, sama dengan Jayakarta
(Jakarta) dalam bahasa Jawa.
Wallahu a’lam.
sumber: http://www.majalah-alkisah.com/index.php/dunia-islam/2288-islam-di-aceh--berawal-dari-kerajaan-jeumpa
IY, disarikan dari tulisan Hilmy Bakar berjudul Kerajaan Jeumpa Aceh: Kerajaan Islam Pertama di Aceh dan Nusantara menurut Teori, Data, dan Pandangan Ahli Sejarah