Teori yang akan dikemukakan ini, utamanya berdasarkan teori dari
Gubernur Jendral Hindia Belanda dari Kerajaan Inggris yang juga seorang
peneliti sosial, Sir TS. Raffles dalam bukunya The History of Java.
Teori Raffles menyebutkan bahwa Champa yang terkenal di Nusantara, bukan
terletak di Kambodia sekarang sebagaimana dinyatakan oleh para peneliti
Belanda. Tapi Champa adalah nama daerah di sebuah wilayah di Acheh,
yang terkenal dengan nama ”Jeumpa”. Champa adalah ucapan atau logat
Jeumpa dengan dialek ”Jawa”, karena penyebutannya inilah banyak ahli
yang keliru dan mengasosiasikannya dengan Kerajaan Champa di wilayah
Kambodia dan Vietnam sekarang. Jeumpa yang dinyatakan Raffles sekarang
berada di sekitar daerah Kabupaten Bireuen Acheh. [60]
”Putri Champa” biasanya dihubungkan dengan istri Prabu Brawijaya V yang
dalam Babad Tanah Jawi, disebutkan bernama Anarawati (Dwarawati) yang
beragama Islam. Puteri inilah yang melahirkan Raden Fatah, yang kemudian
menyerahkan pendididikan putranya kepada seorang keponakannya yang
dikenal dengan Sunan Ampel (Raden Rahmat) di Ampeldenta Surabaya.
Sejarah mencatat, Raden Fatah menjadi Sultan pertama dari Kerajaan Islam
Demak, Kerajaan Islam pertama di tanah Jawa yang mengakhiri sejarah
kegemilangan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit.[61]
”Sang Putri Penakluk” ini adalah wanita luar biasa. Dia adalah seorang
ibu yang tabah, besar hati, penyayang namun mewarisi semangat perjuangan
yang tidak kalah dengan Laksamana Malahayati, Tjut Nya’ Dhien, Tjut
Mutia dan para wanita pejuang agung Acheh lainnya. Bagaimana tidak, dia
harus berpisah jauh dari lingkungannya ke tanah Jawa yang asing baginya,
tiada handai tolan, hidup dilingkungan masyarakat Jawa-Hindu yang
berbeda budaya dan tradisi dengan negeri asalnya, bahkan ada yang
menyatakan suaminyapun masih beragama Hindu dalam tradisi Kerajaan
Majapahit yang feodalis. Namun karena para Ulama-Pejuang sekelas Maulana
Malik Ibrahim atas dukungan para Sultan Muslim menugaskannya berdakwah
dengan caranya, wanita agung inipun ikhlas melakoni peran perjuangannya.
Dengan takdir Allah, beliau melahirkan seorang anak laki-laki yang kelak
dikenal dengan Raden Fatah. Demi kelanjutan agamanya, dia rela
meninggalkan kegemerlapan istana Majapahit sebagai permaisuri agung
untuk memastikan putranya dapat pendidikan terbaik agar menjadi seorang
pemimpin Islam di Jawa. Raden Fatah kecil mendapat kasih sayang serta
bimbingan ibundanya bersama para Wali yang dipimpin sepupunya Raden
Rahmat (Sunan Ampel) yang juga dilahirkan di Kerajaan asal ibunya……..
Dari negeri manakah gerangan ”Sang Puteri Penakluk” yang telah sukses
gemilang menjalankan tugas agamanya, sebagai seorang ibu pendidik agung
(madrasat al-kubra), pejuang suci (mujahidah fi sabilillah), pendakwah
Islam (da’i) sekaligus sebagai penyebab (asbab) keruntuhan sebuah
dinasti Hindu terbesar yang menjadi lambang keagungan dan kebesaran
bangsa Jawa, dengan Mahapatih sadis Gadjah Mada itu.
Tradisi dan peradaban masyarakat model apakah yang telah menjadikannya
sebagai seorang wanita pejuang yang rela mengorbankan diri, perasaan dan
kemerdekaannya demi kejayaan Islam agamanya. Pendidikan apakah yang
diterimanya sehingga berani menerjang medan laga menghadapi benteng
super power Majapahit. Dari sisi manapun kita nilai, wanita ini adalah
wanita besar, namun terhijab peran agungnya oleh wanita selir Jawa
sekelas RA. Kartini, seorang selir Bupati Rembang yang dijadikan tokoh
wanita hanya karena bisa bahasa penjajah Belanda dan dekat dengan
penjajah kaphe. Siapa Kartini jika disandingkan dengan Ratu Tajul Alam
Syafiatuddin, Sultanah Acheh yang memimpin masyarakat kosmopilit Acheh
masa itu dan memiliki kekuasaan seluruh Sumatra dan Semenjang Melayu?
Untuk memastikan dimanakah negeri Champa yang telah ditinggali Maulana
Malik Ibrahim dan asal saudara iparnya ”Putri Champa Penakluk
Majapahit”, maka perlu diselidiki bagaimanakah keadaan Champa waktu itu,
baik yang berada di Acheh maupun Kambodia.
Para ahli sejarah memperkirakan Maulana Malik Ibrahim berada Champa
sekitar 13 tahun, antara tahun 1379 sampai dengan 1392.[62] Champa di
Kambodia masa itu sedang di perintah oleh Chế Bồng Nga antara tahun
1360-1390 Masehi, dikenal dengan The Red King (Raja Merah) seorang Raja
terkuat dan terakhir Champa. Tidak diketahui apakah Raja ini Muslim,
atau memang Budha sebagaimana mayoritas penduduk Kambodia sampai
sekarang dengan banyak peninggalan kuil-kuilnya namun tidak ada masjid.
Beliau berhasil menyatukan dan mengkordinasikan seluruh kekuatan Champa
pada kekuasaannya, dan pada tahun 1372 menyerang Vietnam melalui jalur
laut. Champa berhasil memasuki kota besar Hanoi pada 1372 dan 1377.
Pada penyerangan terakhir tahun 1388, dia dikalahkan oleh Jenderal
Vietnam Ho Quy Ly, pendiri Dinasti Ho. Che Bong Nga meninggal dua tahun
kemudian pada 1390. Tidak banyak catatan hubungan Penguasa Champa ini
dengan Islam, apalagi tidak didapat bekas-bekas kegemilangan Islam,
sebagaimana yang ditinggalkan para pendakwah di Perlak, Pasai ataupun
Malaka.[63]
Sementara catatan sejarah menyatakan lain, yang terkenal dengan Sultan
Cam atau Champa adalah Wan Abdullah atau Sultan Umdatuddin atau Wan Abu
atau Wan Bo Teri Teri atau Wan Bo saja, memerintah pada tahun 1471 M -
1478 M.
Menurut silsilah Kerajaan Kelantan Malaysia, silsilah beliau adalah :
Sultan Abu Abdullah (Wan Bo) ibni Ali Alam (Ali Nurul Alam) ibni
Jamaluddin Al-Husain (Sayyid Hussein Jamadil Kubra) ibni Ahmad Syah
Jalal ibni Abdullah ibni Abdul Malik ibni Alawi Amal Al-Faqih ibni
Muhammas Syahib Mirbath ibni ‘Ali Khali’ Qasam ibni Alawi ibni Muhammad
ibni Alawi ibni Al-Syeikh Ubaidillah ibni Ahmad Muhajirullah ibni ‘Isa
Al-Rumi ibni Muhammad Naqib ibni ‘Ali Al-Uraidhi ibni Jaafar As-Sadiq
ibni Muhammad Al-Baqir ibni ‘Ali Zainal Abidin ibni Al-Hussein ibni
Sayyidatina Fatimah binti Rasulullah SAW.
Jadi Raja Cham ini adalah anak saudara dari Maulana Malik Ibrahim, yaitu
anak dari adik beliau bernama Ali Nurul Alam, dari ibu keturunan
Patani-Senggora di Thailand sekarang. Wan Bo atau Wan Abdullah ini juga
adalah bapak kepada Syarief Hidayatullah, pengasas Sultan Banten
sebagaimana silsilah yang dikeluarkan Kesultanan Banten Jawa Barat:
Syarif Hidayatullah ibni Abdullah (Umdatuddin) ibni Ali Alam (Ali Nurul
Alam) ibni Jamaluddin Al-Hussein (Sayyid Hussein Jamadil Kubra) ibni
Ahmad Syah Jalal dan seterusnya seperti di atas.[64]
Dimana sebenarnya Kerajaan Champa yang dipimpin oleh Raja Champa yang
menjadi mertua Maulana Malik Ibrahim, yang menjadi ayah kandung ”Puteri
Champa”. Padahal jika dikaitkan dengan fakta di atas, mustahil mertua
Maulana Malik atau ayah ”Puteri Champa” itu adalah Wan Bo (Wan Abdullah)
karena menurut silsilah dan tahun kelahirannya, beliau adalah pantaran
anak saudara Maulana Malik yang keduanya terpaut usia 50 tahun lebih.
Raden Rahmat (Sunan Ampel) sendiri lahir pada tahun 1401 di ”Champa”
yang masih misterius itu. Boleh jadi yang dimaksud dengan Kerajaan
Champa tersebut bukan Kerajaan Champa yang dikuasai Dinasti Ho Vietnam,
tapi sebuah perkampungan kecil yang berdekatan dengan Kelantan?.
Inipun masih menimbulkan tanda tanya, dimanakah peninggalannya?. Bahkan
ada pula yang mengatakan Champa berdekatan dengan daerah Fatani, Selatan
Thailand berdekatan dengan Songkla, yang merujuk daerah Senggora zaman
dahulu.[65]
Martin Van Bruinessen telah memetik tulisan Saiyid ‘Al-wi Thahir al-Haddad, dalam bukunya Kitab Kuning, Pesantren ..“Putra
Syah Ahmad, Jamaluddin dan saudara-saudaranya konon telah mengembara ke
Asia Tenggara….. Jamaluddin sendiri pertamanya menjejakkan kakinya ke
Kemboja dan Acheh, kemudian belayar ke Semarang dan menghabiskan waktu
bertahun-tahun di Jawa, hingga akhirnya melanjutkan pengembaraannya ke
Pulau Bugis, di mana dia meninggal.” (al-Haddad 1403 :8-11).
Diriwayatkan pula beliau menyebarkan Islam ke Indonesia bersama
rombongan kaum kerabatnya. Anaknya, Saiyid Ibrahim (Maulana Malik
Ibrahim) ditinggalkan di Acheh untuk mendidik masyarakat dalam ilmu
keislaman. Kemudian, Saiyid Jamaluddin ke Majapahit, selanjutnya ke
negeri Bugis, lalu meninggal dunia di Wajok (Sulawesi Selatan). Tahun
kedatangannya di Sulawesi adalah 1452M dan tahun wafatnya 1453M”.
Jadi tidak diragukan bahwa yang ke Kamboja itu adalah ayah Maulana Malik
Ibrahim, Saiyid Jamaluddin yang menikah di sana dan menurunkan Ali
Nurul Alam. Sedangkan mayoritas ahli sejarah menyatakan Maulana Malik
Ibrahim lahir di Samarkand atau Persia, sehingga di gelar Syekh
Maghribi. Beliau sendiri dibesarkan di Acheh dan tentu menikah dengan
puteri Acheh yang dikenal sebagai ”Puteri Raja Champa”, yang melahirkan
Raden Rahmat (Sunan Ampel).
Lagi pula keadaan Champa Kambodia sezaman Maulana Malik Ibrahim sedang
huru hara dan terjadi pembantaian terhadap kaum Muslim yang dilakukan
oleh Dinasti Ho yang membalas dendam atas kekalahannya pada pasukan
Khulubay Khan, Raja Mongol yang Muslim sebagaimana disebutkan terdahulu.
Keadaan ini sangat jauh berbeda dengan keadaan Jeumpa yang menjadi
mitra Kerajaan Pasai pada waktu itu yang menjadi jalur laluan dan
peristirahatan menuju kota besar seperti Barus, Fansur dan Lamuri dari
Pasai ataupun Perlak. Kerajaan Pasai adalah pusat pengembangan dan
dakwah Islam yang memiliki banyak ulama dan maulana dari seluruh penjuru
dunia.
Sementara para sultan adalah diantara yang sangat gemar berbahas tentang
masalah-masalah agama, di istananya berkumpul sejumlah ulama besar dari
Persia, India, Arab dan lain-lain, sementara mereka mendapat
penghormatan mulia dan tinggi.[66] Dan Sejarah Melayu menyebutkan bahwa
”segala orang Samudra (Pasai) pada zaman itu semuanya tahu bahasa
Arab.[67]
Populeritas Jeumpa (Acheh) di Nusantara, yang dihubungkan dengan
puteri-puterinya yang cerdas dan cantik jelita, buah persilangan antara
Arab-Parsi-India dan Melayu, yang di Acheh sendiri sampai saat ini
terkenal dengan Buengong Jeumpa, gadis cantik putih kemerah-merahan,
tidak lain menunjukkan keistimewaan Jeumpa di Acheh yang masih
menyisakan kecantikan puteri-puterinya di sekitar Bireuen.
Pada masa kegemilangan Pasai, istilah puteri Jeumpa (lidah Jawa menyebut
”Champa”) sangat populer, mengingat sebelumnya ada beberapa Puteri
Jeumpa yang sudah terkenal kecantikan dan kecerdasannya, seperti Puteri
Manyang Seuludong, Permaisuri Raja Jeumpa Salman al-Parisi, Ibunda
kepada Syahri Nuwi pendiri kota Perlak. Puteri Jeumpa lainnya, Puteri
Makhdum Tansyuri (Puteri Pengeran Salman-Manyang Seuludong/Adik Syahri
Nuwi) yang menikah dengan kepala rombongan Khalifah yang dibawa Nakhoda,
Maulana Ali bin Muhammad din Ja’far Shadik, yang melahirkan Maulana
Abdul Aziz Syah, Raja pertama Kerajaan Islam Perlak.
Mereka seterusnya menurunkan Raja dan bangsawan Perlak, Pasai sampai
Acheh Darussalam. Demikian pula keturunan Syahri Nuwi dari Sultan Perlak
bergelar Makhdum juga disebut sebagai Putri Jeumpa, karena beliau lahir
di Jeumpa. Kecantikan dan kecerdasan puteri-puteri Jeumpa sudah menjadi
legenda di antara pembesar-pembesar istana Perlak, Pasai, Malaka,
bahkan sampai ke Jawa. Itulah sebabnya kenapa Maharaja Majapahit,
Barawijaya V sangat mengidam-idamkan seorang permaisuri dari Jeumpa.
Bahkan dalam Babat Tanah Jawi, disebutkan bagaimana mabok kepayangnya
sang Prabu ketika bertemu dengan Puteri Jeumpa yang datang bersama
dengan rombongan Maulana Malik Ibrahim dan para petinggi Pasai.
Secara umum, wajah orang Champa Kambodia lebih mirip dengan Cina,
kecil-kecil dan memiliki kulit seperti orang Kelantan sekarang,
sementara bahasanya susah dimengerti karena dialeknya berbeda dengan
rumpun bahasa Melayu yang menjadi bahasa pertuturan dan pengantar
Nusantara saat itu. Muka-muka Arab, seperti wajah Maulana Malik Ibrahim,
Raden Rahmat ataupun gelar mereka, Sayyid, Maulana, dan lainnya jarang
adanya dan tidak seperti rata-rata orang Perlak, Pasai, Jeumpa ataupun
umumnya orang Acheh yang lebih mirip ke wajah Arab, India atau Parsia.
Sebagaimana diketahui, Maulana Malik Ibrahim dan Raden Rahmat memberikan
pelajaran agama kepada orang Jawa menggunakan bahasa Melayu Sumatera
yang banyak digunakan di sekitar Perlak, Pasai, Lamuri, Barus, Malaka,
Riau-Lingga dan sekitarnya, sebagaimana dalam manuskrip agama yang
dikarang para Ulama terkemudian seperti terjemahan karya Abu Ishaq,
kitab-kitab Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, Nuruddin al-Raniri,
Raja Ali Haji dan lainnya.
Dari segi geografis dan taktik-strategi perjuangan, kelihatannya
mustahil para pendakwah, khususnya gerakan Para Wali yang akan
menaklukkan pulau Jawa bermarkas di sebuah perkampungan Muslim minoritas
dekat Vietnam. Apalagi pada masa itu Champa sepeninggal Raja
terakhirnya, Che Bong Nga (w.1390), sepenuhnya dikuasai Dinasti Ho yang
Budha dan anti Islam berpusat di Hanoi. Maulana Malik Ibrahim adalah
Grand Master para Wali Songo, jika sasaran dakwahnya adalah pulau Jawa,
sebagai basis kerajaan Hindu-Budha yang tersisa, terlalu naif memilih
Champa sebagai markas pusat pergerakan baik menyangkut dukungan
logistik, politik maupun ketentaraan. Sebagaimana dicatat sejarah, pada
masa itu para Sultan dan Ulama, baik yang ada di Arab, Persia, India
termasuk Cina yang sudah dipegang penguasa Islam memfokuskan penaklukkan
kerajaan besar Majapahit sebagai patron terbesar Hindu-Budha Nusantara.
Kaisar Cina yang sudah Muslimpun mengirim Panglima Besar dan tangan
kanan dan kepercayaannya, Laksamana Cheng-Ho untuk membantu gerakan
Islamisasi Jawa. Sementara hubungan dakwah via laut pada saat itu sudah
terjalin jelas menunjukkan hubungan antara
Jawa-Pasai-Gujarat-Persia-Muscat-Aden sampai Mesir, yang diistilahkan
Azra sebagai Jaringan Ulama Nusantara. Yang artinya, wilayah Acheh
Jeumpa lebih mungkin berada di sekitar pusat gerakan dan lintasan
jaringan tersebut daripada Champa Kambodia. Adalah hal yang mustahil,
seorang Wali sekelas Maulana Malik Ibrahim, bapak dan pemimpin para Wali
di Jawa, yang telah berhasil membangun jaringan di Nusantara, setelah
13 tahun di Champa tidak dapat membangun sebuah kerajaan Islam atau
meninggalkan jejak-jejak kegemilangan peradaban Islam, atau hanya sebuah
prarasti seperti pesantren, maqam atau sejenisnya yang akan menjadi
jejaknya. Bahkan Raffles menyebutnya sebagai orang besar, sementara
sejarawan G.W.J.
Drewes menegaskan, Maulana Malik Ibrahim adalah tokoh yang pertama-tama
dipandang sebagai wali di antara para wali. ”Ia seorang mubalig paling
awal,” tulis Drewes dalam bukunya, New Light on the Coming of Islam in
Indonesia. Gelar Syekh dan Maulana, yang melekat di depan nama Malik
Ibrahim, menurut sejarawan Hoessein Djajadiningrat, membuktikan bahwa ia
ulama besar. Gelar tersebut hanya diperuntukkan bagi tokoh muslim yang
punya derajat tinggi.
Maulana Malik Ibrahim memiliki seorang saudara yang terkenal sebagai
ulama besar di Pasai, bernama Maulana Saiyid Ishaq, sekaligus ayah dari
Raden Paku atau Sunan Giri. Menurut cacatan sejarah, beliau adalah salah
seorang ulama yang dihormati di kalangan istana Pasai dan menjadi
penasihat Sultan Pasai di zaman Sultan Zainal Abidin dan Sultan
Salahuddin. Sebelum bertolak ke tanah Jawa, ayahanda beliau, Jamaluddin
Akbar al-Husain (Maulana Akbar), yang juga datang dari Persia atau
Samarqan, tinggal dan menetap juga di Pasai. Jadi menurut analisis,
beliau bertiga datang dari Persia atau Samarqan ke Kerajaan Pasai
sebagai pusat penyebaran dakwah Islam di Nusantara, pada sekitar abad ke
13 Masehi, bersamaan dengan kejayaan Kerajaan Pasai di bawah para
Sultan keturunan Malik al-Salih, yang juga keturunan Ahlul Bayt.
Sementara Sunan Ampel atau Raden Rahmat yang dikatakan lahir di Champa,
kemudian hijrah pada tahun 1443 M ke Jawa dan mendirikan Pesantren di
Ampeldenta Surabaya, adalah seorang ulama besar, yang tentunya
mendapatkan pendidikan yang memadai dalam lingkungan Islami pula.
Adalah mustahil bagi Sang Raden untuk mendapatkan pendidikannya di
Champa Kambodia pada tahun-tahun itu, karena sejak tahun 1390 M atau
sepuluh tahun sebelum kelahiran beliau, sampai dengan abad ke 16,
Kambodia dibawah kekuasaan Dinasti Ho yang Budha dan anti Islam
sebagaimana dijelaskan terdahulu. Apalagi sampai saat ini belum di dapat
jejak lembaga pendidikan para ulama di Champa. Namun keadaannya berbeda
dengan Jeumpa Acheh, yang dikelilingi oleh Bandar-Bandar besar tempat
pesinggahan para Ulam dunia pada zaman itu. Perlu digarisbawahi,
kegemilangan Islam di sekitar Pasai, Malaka, Lamuri, Fatani dan
sekitarnya adalah antara abad 13 sampai abad 14 M. Kawasan ini menjadi
pusat pendidikan dan pengembangan pengetahuan Islam sebagaimana
digambarkan terdahulu.
Dengan demikian, maka jelaslah bahwa ”Champa” yang dimaksud dalam
sejarah pengembangan Islam Nusantara selama ini, yang menjadi tempat
persinggahan dan perjuangan awal Maulana Malik Ibrahim, asal ”Puteri
Champa” atau asal kelahiran Raden Rahmat (Sunan Ampel), bukanlah Champa
yang ada di Kambodia-Vietnam saat ini. Tapi tidak diragukan, sebagaimana
dinyatakan Raffles, ”Champa” berada di Jeumpa Acheh dengan kota
perdagangan Bireuen, yang menjadi bandar pelabuhan persinggahan dan
laluan kota-kota metropolis zaman itu seperti Fansur, Barus dan Lamuri
di ujung barat pulau Sumatra dengan wilayah Samudra Pasai ataupun Perlak
di daerah sebelah timur yang tumbuh makmur dan maju.
Jika Jeumpa Acheh menjadi asal dari Puteri yang menjadi Permaisuri Maha
Prabu Brawijaya V, yang telah melahirkan Raden Fatah, Sultan pertama
Kerajaan Islam Demak, kerajaan Islam pertama di tanah Jawa. Jika Jeumpa
Acheh adalah tempat dilahirkan dan dibesarkannya Raden Rahmat (Sunan
Ampel) yang telah mendidik para pejuang dan pendakwah Islam di Tanah
Jawa yang berhasil meruntuhkan dominasi kerajaan-kerajaan Hindu. Jika
Jeumpa Acheh adalah tempat persinggahan dan kediaman Maulana Malik
Ibrahim, sang Grand Master gerakan Wali Songo yang berperan dalam
pengembangan Islam dan melahirkan para Ulama di tanah Jawa. Jika Jeumpa
Acheh adalah daerah yang menjadi bagian dari Kerajaan Pasai yang telah
melahirkan banyak Ulama dan pendakwah di Nusantara. Maka tidak
diragukan, secara tersirat bahwa Jeumpa dan tentunya Pasai memiliki
peran besar proses penaklukan Kerajaan
Jawa-Hindu Majapahit.
Dan Kerajaan Pasai, sebagai pusat Islamisasi Nusantara, sangat
berkepentingan untuk menaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit, karena
ia adalah satu-satunya penghalang utama untuk pengislaman tanah Jawa.
Maka para Sultan dan para Ulama serta cerdik pandai Kerajaan Pasai telah
menyusun strategi terus menerus dengan segala jaringannya untuk
menaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu ini. Bahkan Kekaisaran Cinapun yang
telah dikuasai Muslim ikut andil dalam Islamisasi ini, terbukti dengan
mengirimkan Penglima Besar dan kepercayaan Kaisar yang bernama Laksamana
Cheng Ho. Jalan peperangan tidak mungkin ditempuh, mengingat jauhnya
jarak antara Pasai dengan Jawa Timur sebagai pusat Kerajaan Majapahit.
Maka ditempuhlan jalan diplomasi dan dakwah para duta dari Kerajaan
Pasai. Rupanya para Grand Master terutama
Maulana Malik Ibrahim sebagai
utusan senior para pendakwah, menemukan sebuah cara yang dianggap bijak,
yaitu melalui jalur perkawinan. Maka dikawinkanlah iparnya yang bernama
Dwarawati atau Puteri Jeumpa yang cantik jelita dan cerdas tentunya,
dengan Prabu Brawijaya V, yang konon masih memeluk Hindu. Kenapa Sang
Bapak Para Wali Songo ini berani mengambil kebijakan itu. Tentu hanya
Allah dan beliau yang tahu. Dan akhirnya sejarah kemudian mencatat, anak
perkawinan Puteri Jeumpa Dwarawati dengan Prabu Brawijaya V, bernama
Raden Fatah adalah Sultan Kerajaan Islam Demak pertama yang telah
mengakhiri dominasi Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit dan Kerajaan-Kerajaan
Hindu lainnya.
Mungkin pertimbangan Maulana Malik Ibrahim menikahkan iparnya
Puteri Jeumpa berdasarkan ijtihad beliau setelah mengadakan penelitian panjang
terhadap tradisi dan budaya orang Jawa yang sangat menghormati dan patuh
bongkokan kepada Raja atau Pangeran yang selama ini dianggap sebagai
titisan para Dewata, sebagaimana cerita-cerita pewayangan di Jawa. Jika
ada seorang Raja atau Pangeran yang masuk Islam, maka akan mudah bagi
perkembangan Islam. Karena Jawa adalah salah satu daerah yang sangat
sulit diislamkan sampai saat itu, mengingat kuatnya dominasi Kerajaan
Hindu Majapahit. Itulah sebabnya, ketika Puteri Jeumpa telah hamil, dia
ditarik dari istana Majapahit, dihijrahkan ke wilayah Islam lainnya,
kabarnya ke Kerajaan
Melayu Palembang.
Setelah lahir anaknya, Raden Fatah, Puteri Jeumpa kembali ke Jawa Timur,
tapi bukan ke istana Majapahit, tapi ke Ampeldenta Surabaya, ke tempat
anak saudaranya Raden Rahmat (Sunan Ampel) untuk mendidik Raden Fatah
agar menjadi pemimpin Islam. Setelah dewasa, karena masih Raden Pangeran
Majapahit, maka Raden Fatah berhak mendapat jabatan, dan beliau
diangkat sebagai seorang Bupati di sekitar Demak. Saat itulah para Wali
Songo yang sudah mapan mendeklarasikan sebuah Kerajaan Islam Demak, di
Bintaro Demak, sebagai Kerajaan Islam pertama di Jawa. Karena Raden
Fatah adalah titisan Raja Majapahit, maka orang-orang Jawapun dengan
cepat mengikuti agamanya dan membela perjuangannya sebagaimana dicatat
sejarah dalam buku Babat Tanah Jawi.
Jadi prestasi terbesar Kerajaan Pasai adalah keberhasilannya
mengembangkan Kerajaannya sebagai pusat Islamisasi Nusantara, terutama
keberhasilannya mengislamisasikan pulau Jawa yang telah coba dilakukan
berabad-abad oleh para pendakwah dan pejuang Islam. Namun sayang fakta
sejarah ini selalu ditutup-tutupi oleh para penjajah Belanda dan
antek-anteknya di Jawa. Bahkan sebagian orang-orang Jawa tidak pernah
menganggap bahwa para Wali Songo adalah alumni perguruan tinggi Islam
yang sudah berkembang pesat di Acheh, baik di sekitar Pasai, Perlak,
Jeumpa, Barus, Fansur dan lain-lainnya yang selanjutnya akan dibuktikan
dengan tampilnya ulama-ulama besar dan berpengaruh di Nusantara asal
Acheh seperti Hamzah Fansuri, Samsuddin al-Sumatrani, Maulana Syiah
Kuala, Nuruddin al-Raniri dan lain-lainnya. [Unknown]
sumber: http://iwantaufik.blogdetik.com/2010/02/15/ketika-kerajaan-islam-pasai-aceh-menaklukkan-kerajaan-jawa-hindu-majapahit/
0 tanggapan:
Posting Komentar
Terimakasih atas kunjungannya dalam demensi lain mank obyd