Dalam sejarah Islamisasi di tanah Jawa,
terkenallah beberapa tokoh ulama besar yang sangat melekat pada ingatan
masyarakat Jawa, dan tokoh ulama-ulama tersebut sering sekali mewarnai
berbagai literatur pembahasan sejarah masuk dan berkembangnya Islam di
Jawa. sebuah wadah yang disebut “dewan dakwah”, dimana dalam
wadah ini adalah sembilan ulama besar dan merekalah yang
bertanggungjawab atas Islamisasi di tanah Jawa. Sembilan nama ulama
besar ini terkenal kemudian dengan sebutannya Wali Songo,
(sembilan wali) yang beberapa di antara mereka adalah berasal dari Pasai
Aceh. Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di
tanah Jawa di mulai dari abad ke 14. Mereka kemudian bertempat tinggal
di tiga wilayah penting yang berbeda di pantai utara pulau Jawa, yaitu
meliputi: Jawa Timur di daerah Surabaya, Gresik, Lamongan. Jawa Tengah
di daerah Demak, Kudus, Muria. Dan di Jawa Barat yaitu di Cirebon.
Karena ulama-ulama ini dalam suatu dewan dakwah, maka apabila salah
satu anggota dewan ini meninggal, maka akan dicari penggantinya.
Sebenarnya, para ulama-ulama yang menyebarkan Islam di Jawa tidak hanya
terdiri dari sembilan wali saja, melainkan lebih bahkan mereka terdiri
dari beberapa periode, namun tokoh ulama yang sangat terkenal dan
memiliki pengaruh yang besar ialah: Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel,
Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajad, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan
Kalijaga, Sunan Gunung Jati. Menurut KH. Mohammad Dahlan, Para Walisongo
tidak hidup pada saat yang persis bersamaan, namun hubungan antara
mereka memiliki keterkaitan yang erat satu sama lainnya, baik dalam
ikatan darah (orang tua dengan anak) atau karena pernikahan, maupun
dalam hubungan sebagai guru dengan murid.
Ketika masa Walisongo melaksanakan
tugasnya yaitu memperkenalkan agama Islam pada masyarakat Jawa, pada
saat itu adalah era (kekacauan) melemahnya dominasi Hindu-Budha (Majapahit) dalam budaya Nusantara untuk kemudian digantikan
dengan kebudayaan Islam, dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16.
Dan sebelumnya di Aceh pada abad ke 9, telah berdiri sebuah kerajaan
Kesultanan Islam Peureulak, yang kemudian menjadi kerajaan Islam
terbesar dan megah di Asia Tenggara pada masa Sultan Malikussaleh di
abad 13. Jadi dengan demikian terlihat jelas bahwa kerajaan Samudera
Pasai telah berkontribusi besar dalam meng-Islamkan masyarakat Jawa
dengan melihat pendekatan abad, dan saat itu pula para Mubaliqh dari
Pasai di tugaskan untuk berdakwah ke Jawa yaitu yang dipimpin oleh
Maulana Malik Ibrahim, yang kemudian dikenal Walisongo. Walisongo dalam
pandangan masyarakat Jawa adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia,
khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan
memperkenalkan Islam. Namun peranan mereka (Walisongo) yang sangat besar
dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap
kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat
para Walisongo ini lebih banyak mendapat perhatian dibanding tokoh yang
lain. Kemudian dalam metode dakwah yang dilakukan oleh para Walisongo
memiliki keunikan masing-masing yang satu sama lain cenderung tidak sama
dan melakukan penyesuaiyan dengan masyarakat setempat, hal ini
disebabkan karena para Walisongo telah memahami konteks sosial-politik
masyarakat Jawa yang telah lama di bawah bimbingan Majapahit yang
berpaham dinamisme dan animisme. Jadi singkretisme dalam kepercayaan
(Islam) di Jawa sampai saat ini merupankan warisan Majapahit. Selain
itu, Para Walisongo merupakan kumpulan orang-orang intelektual yang
menjadi pembaharu bagi masyarakat Jawa pada masanya. Pengaruh mereka
terasa dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru di Jawa, selain
memiliki pengetahuan agama yang tinggi, para Walisongo juga mengajarkan
cara menjaga kesehatan, bercocok tanam, Perniagaan, kebudayaan,
kesenian, kemasyarakatan, hingga perihal kepemerintahan.
Mengenai asal dari mana para Walisongo,
banyak orang sedikit sekali menyadarinya bahwa empat dari sembilan wali
yang menyebarkan agama Islam di Jawa berasal adalah dari Samudera Pasai.[1]
Hal ini terjadi karena tidak ada perhatian serius (penelitian secara
mendalam) dari berbagai pihak baik di Aceh maupun ilmuan di Jawa. mereka
dalam mengkajinya cenderung tersamarkan referensi mengenai kejayaan
kerajaan Islam Aceh, tetapi memang demikianlah faktanya sekarang.
Mungkin sebagian generasi baru di Aceh dan para ilmuan di Jawa tidak
memahami bahwa, Belanda punya kecenderungan untuk tidak mengakui
keagungan kerajaan Islam dan upaya kerajaan Islam Pasai dalam islamisasi
di Nusantara, (Belanda melakukan ini untuk kelancara
zendeling-misionaris di bumi Nusantara). Alhasil, kajian-kajian yang
dilakukan oleh ilmuan yang di Jawa menjadi kontradiktif dengan faktanya,
dan ini berlangsung begitu saja tampa ada kajian yang kritis kemudian.
Selain itu, sejarah yang kontradiktif ini menjadi mata pelajaran untuk
generasi bangsa berikutnya semenjak negara Indonesia lahir, ataupun
memang ada unsur-unsur tidak ada tempat sejarah kerajaan Islam Pasai
dalam pengetahuan anak bangsa Indonesia, sehingga menjadikannya samar
dan gelap. Padahal kerajaan Islam Samudera Pasai telah banyak melakukan
dakwah-dakwah ke sebahagian wilayah-wilayah Asia Tenggara.
Telah berlangsung lama mengenai, dari
manakah asal mula seorang wanita yaitu Puteri Champa yang telah menjadi
pendamping hidup (istri) dari Raden Prabu Barawijaya V. Dan Raden Prabu
Barawijaya sendiri adalah Raja terakhir dari Kerajaan Hindu Majapahit di
Jawa. kemudian, dari hasil perkawinan ini telah melahirkan seorang
putra yang kemudian di kenal yaitu Raden Fatah, Sultan pertama Kerajaan
Islam Demak. Kemunculan Kerajaan Islam Demak pertama ini adalah
menandakan mengsaingi Kerajaan Hindu Jawa yang terpaksa kalah dan
berakhir kekuasaannya di Jawa. Untuk mengkaji lebih mendalam lagi, maka
akan di gunakan dua pendekatan teori dan akan membahas dua teori
tersebut secara lebih luas lagi. teori yang Pertama yang dikemukakan oleh Christiaan Snouck Hurgroje[2]
dan para peneliti Belanda lainnya, menyatakan yaitu: bahwa daerah
Champa beranggapan di sekitar wilayah Kambodia (Vietnam sekarang). Dari
asumsi ini, kemudian mereka menyatakan bahwa Wali Songo dalam proses
melakukan Islamisasi di Jawa menjadikan daerah Champa-Kambodia ini
sebagai tempat basis perjuangan. Kemudian mereka beranggapan lagi bahwa,
di Champa-Kambodia peradaban Islamnya lebih besar dan maju dari pada di
Aceh. Padahal, di Champa-Kambodia masa itu sedang di perintah oleh Che
Bong Nga 1360-1390 Masehi, dan tidak ada sumber yang jelas apakah Raja
ini Muslim atau bukan. Namun pada umumnya agama Buhda adalah mayoritas
penduduk Kambodia sampai sekarang, hal ini bisa di lihat dari banyaknya
peninggalan kuil-kuil dan sulit menemukan bagunan masjid di sana. Disisi
lain, mengenai literatur hubungan Penguasa Champa dengan Islam tidak
banyak, ditambah lagi tidak ditemukannya bukti kegemilangan (era-emas)
Islam disana. Hal ini berbeda jika dibandingkan sebagaimana yang
ditinggalkan para pendakwah di Perlak, Pasai dan Malaka. Ketika itu, di
Champa Kambodia yang bersamaan masa Maulana Malik Ibrahim sedang terjadi
pembantaian terhadap kaum Muslim yang dilakukan oleh Dinasti Ho yang
membalas dendam atas kekalahannya pada pasukan Khulubay Khan, Raja
Mongol yang Muslim. Jadi sangat mustahil bagi Walisongo untuk menjadikan
Champa Kambodia sebagai basis perjuangan Islam di sana dengan kondisi
seperti itu. Namun teori dari orientalis Belanda ini banyak di jadikan
rujukan oleh ilmuan-ilmuan yang berada di Indonesia khususnya di Jawa.
Sedangkan teori yang kedua datang dari Raffles[3]
yang ber-argumen bahwa: Champa yang banyak di asumsi orang Indonesia
bukan berada di Kambodia (Vietnam) sekarang, sebagaimana dinyatakan oleh
para peneliti Belanda. Akan tetapi, munurut Raffles, Champa adalah
sebuah nama daerah di sebuah wilayah tepatnya berada di Aceh, dan
masyarakat Aceh setempat menyebut daerahnya itu dengan nama ”Jeumpa”,
sekarang dikenal daerah ini dengan nama kabupaten Aceh Jeumpa kota
Bireun. Kata Jeumpa bagi dialek bahasa Jawa pada saat itu menjadi kata
Champa, karena salah penyebutan itu akhirnya bagi ahli sejarah
berikutnya mengalamatkan (menghubungkan) Walisongon dengan kerajaan
Champa Kambodia dan Vietnam sekarang. Kata Jeumpa di Aceh sendiri
terurai indah dalam sebuah lagu clasik Aceh dengan potongan liriknya, “bungong Jumpa bungong Jumpa meugah di Aceh” (bungan Jeumpa-bungan Jeumpa megah di Aceh). Makna dari Bungan Jeumpa adalah, wanita[4] daerah Jeumpa Aceh terkenal ke penjuru dunia baik karena kecantikannya, (seperti kisah: Permaisuri[5]
Maha Prabu Brawijaya V), keperkasaannya (seperti kisah Cut Nya Dien,
Malahayati), kepemimpinan (seperti kisah Ratu-ratunya Aceh) dan
lain-lainnya. Dalam Babad Tanah Jawi, di sebutkan bahwa ”Putri Champa”
adalah istri Prabu Brawijaya V, ia bernama Anarawati (Dwarawati) dan ia
beragama Islam. Kemudian, masih dalam kisah yang sama bahwa putri
Champa-lah yang melahirkan Raden Fatah. Raden Fatah sendiri oleh ibunya
menyerahkan pendididikan putranya itu kepada keponakannya yaitu pada
Sunan Ampel (Raden Rahmat) yang berada di Ampeldenta Surabaya. Dalam
perjalanan yang panjang Raden Fatah kemudian menjadi Sultan pertama dari
Kerajaan Islam Demak, Kerajaan Islam pertama di tanah Jawa.
Sebuah keyataan yang harus di terima oleh
Putri Champa, ia meninggalkan daerah kelahirannya untuk pergi ke tanah
Jawa, konon suaminya pada saat itu masih beragama Hindu. Berhubung
adanya sebuah misi besar yang akan di lakukan oleh Ulama Maulana Malik
Ibrahim, maka wanita inipun ikut melakukan perjuangan islamisasi di
Jawa, dan Maulana Malik Ibrahim sendiri adalah ketua dari rombongan
dewan dakwah yang di tugaskan oleh Sultan Muslim kerajaan Islam. (ketika
itulah putri Champa menjadi istrinya Prabu Brawijaya V). Sebuah sikap
yang sangat berani di ambil oleh Putri Champa, takalah pada saat itu ia
rela meninggalkan kompleks lingkungan istana Majapahit dengan tujuan
agar anaknya mendapat pendidikan agama Islam yang baik pada Raden Rahmat
(Sunan Ampel). Dan Sunan Ampel juga di lahirkan di daerah yang sama
dengan Putri Champa di kerajaan Islam yang mega itu.
Syeh Maulana Malik Ibrahim adalah seorang
tokoh ulama besar yang pertama-tama yang memperkenalkan Islam
(Islamisasi) di Jawa, Banyak Para ahli sejarah yang memperkirakan
Maulana Malik Ibrahim berada Champa selama 13 tahun lamanya, antara
tahun 1379 sampai dengan 1392. Untuk menghindari multi tafsir atas kata
Champa, asal dari mana Putri Champa, Maulana Malik Ibrahim, dan
rombongannya itu, maka di sini akan melakukan perbandingan mengenai
Champa di Aceh dengan Champa di Kambodia. Sultan Cam atau Sultan Champa
adalah Wan Abdullah atau Sultan Umdatuddin atau Wan Abu atau Wan Bo Teri
atau Wan Bo, yang memerintah pada tahun 1471 M – 1478 M. Dan Sultan
Cham ini adalah anak saudara dari Maulana Malik Ibrahim, yaitu anak dari
adik beliau bernama Ali Nurul Alam, dari ibu keturunan Patani-Senggora
di Thailand sekarang.
Berdasarkan silsilah Kerajaan Kelantan
Malaysia, adalah: Sultan Abu Abdullah (Wan Bo) ibni Ali Alam (Ali Nurul
Alam) ibni Jamaluddin Al-Husain (Sayyid Hussein Jamadil Kubra) ibni
Ahmad Syah Jalal ibni Abdullah ibni Abdul Malik ibni Alawi Amal Al-Faqih
ibni Muhammas Syahib Mirbath ibni ‘Ali Khali’ Qasam ibni Alawi ibni
Muhammad ibni Alawi ibni Al-Syeikh Ubaidillah ibni Ahmad Muhajirullah
ibni ‘Isa Al-Rumi ibni Muhammad Naqib ibni ‘Ali Al-Uraidhi ibni Jaafar
As-Sadiq ibni Muhammad Al-Baqir ibni ‘Ali Zainal Abidin ibni Al-Hussein
ibni Sayyidatina Fatimah binti Rasulullah SAW.
Raja Champa yang merupakan mertua Maulana
Malik Ibrahim, sekaligus ayah kandung dari Puteri Champa ini menjadi
kurang tepat jika di jadikan sebuah asumsi demikian. Padahal jika
dikaitkan dengan fakta di atas (sisila Kerajaan Kelantan Malaysia),
mustahil mertua Maulana Malik atau ayah ”Puteri Champa” itu adalah Wan
Bo (Wan Abdullah), karena menurut silsilah dan tahun kelahirannya,
beliau Wan Bo (Wan Abdullah) adalah anak saudara Maulana Malik yang
keduanya terpaut usia 50 tahun lebih. Raden Rahmat (Sunan Ampel) sendiri
lahir pada tahun 1401. Dengan demikian sangat berkemungkinan yang
dimaksud dengan Kerajaan Champa tersebut bukan Kerajaan Champa yang
dikuasai Dinasti Ho Vietnam, tapi sebuah perkampungan kecil yang
berdekatan dengan Kelantan. Pendapat yang lain juga mengatakan Champa
itu berdekatan dengan daerah Fatani, Selatan Thailand berdekatan dengan
Songkla, yang merujuk daerah Senggora.
Jamaluddin pertamanya ia menjejakkan kakinya ke Kemboja dan Aceh,[6]
kemudian belayar ke Semarang dan menghabiskan waktu bertahun-tahun di
Jawa, hingga akhirnya melanjutkan pengembaraannya ke Pulau Bugis, dan
dia meninggal disana. (al-Haddad 1403 :8-11). Diriwayatkan pula beliau
menyebarkan Islam ke Nusantara bersama rombongan kaum kerabatnya.
Anaknya Saiyid Ibrahim, yaitu Maulana Malik Ibrahim ditinggalkan di Aceh
untuk mendidik masyarakat setempat dalam bidang ilmu keislaman.
Kemudian, Saiyid Jamaluddin ke Jawa, selanjutnya ke negeri Bugis pada
tahun 1452 M, dan meninggal dunia di Wajok (Sulawesi Selatan) pada tahun
1453 M. Dengan demikian terlihat jelas bahwa, yang ke Kamboja itu
adalah ayahnya Maulana Malik Ibrahim, yaitu Saiyid Jamaluddin yang
menikah di sana dan menurunkan Ali Nurul Alam. Sedangkan mayoritas ahli
sejarah menyatakan Maulana Malik Ibrahim lahir di Samarkand atau Persia
pada paruh awal abad ke-14[7].
sehingga ia di gelar Syekh Maghribi. Dan Maulana Malik Ibrahim sendiri
dibesarkan di Aceh, dan ia menikah dengan puteri Aceh yang dikenal
sebagai Puteri Raja Champa, yang melahirkan Raden Rahmat (Sunan Ampel).
Kawasan Jeumpa (Champa) pada saat itu merupakan mitra Kerajaan Pasai
yang menjadikan tempat jalur dan tempat peristirahatan yang menuju ke
Kota seperti seperti Barus, Fansur dan Lamuri dari Pasai ataupun Perlak.
Dan selain itu, Kerajaan Pasai merupakan tempat pengembangan Islam, dan
dakwah Islam yang memiliki banyak ulama dari seluruh penjuru dunia.
Sedangkan Sultan-Sultan Kerajaan Aceh sangat gemar berbahas tentang
masalah-masalah agama di istananya, dan disitupun banyak berkumpul
sejumlah ulama besar seperti dari Persia, India, Arab dan dari
lain-lainnya.
Menurut Ayzumardi Azra[8]
dalam Jaringan Ulama Nusantara, ia menjelaskan bahwa hubungan dakwah
yang menggunakan jalur laut pada saat itu sudah terjalin sangat bagus
yang berhubungan lintas pulau dan benua, misalnya seperti
Jawa-Pasai-Gujarat-Persia-Muscat-Aden sampai Mesir. Sementara di wilayah
Aceh yaitu di Jeumpa, lebih mungkin berada sebagai pusat gerakan untuk
para ulama-ulama, ketimbang di Champa Kambodia sebagai jaringan ulama
dan hal ini sulit karena Kambodia-Vietnam sendiri mengalami iklim tidak
kondusif dan tidak stabil yang menguntungkan Islam. Kerajaan Pasai
merupakan tempat pusat Islamisasi Nusantara, oleh dasar itu, maka
kerajaan Islam Pasai tentunya mempunyai kepentingan dalam rangka
menumbangkan Kerajaan Jawa Majanpahit yang beragama Hindu, karena
Kerajaan Majanpahit adalah satu-satunya penghalang utama untuk
pengislaman tanah Jawa. Di Kerajaan Pasai merupakan tempatnya berkumpul
berbagai para Ulama dari berbagai latar belakang dan para cerdik pandai
Kerajaan Pasai, mereka inilah yang kemudian menyusun strategi terus
menerus dengan segala jaringannya untuk menaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu
itu. Salah satu dari satrategi itu adalah, ditempuhlan jalan diplomasi
dan dakwah oleh para duta dari Kerajaan Pasai. Maulana Malik Ibrahim di
percayai sebagai kepala rombongan sekaligus ia utusan senior dari para
pendakwah. Strategi yang lainya juga yaitu yang dianggap bijak melalui
jalur perkawinan, antara Puteri Jeumpa (Dwarawati) dengan Prabu
Brawijaya V. Dari hasil perkawinan ini sejarah mencatat bahwa lahirlah
Raden Fatah yang kemudian menjadi Sultan Kerajaan Islam Demak pertama,
yang kemudian menumbangkan Kerajaan Jawa Majapahit dan kerajaan-kerajaan
Hindu lainya.
Hubungan satu sama lain di antara para
pendakwa Walisongo bisa dilihat sebagai berikut, baik dalam ikatan darah
(orang tua dengan anak), pernikahan, maupun dalam hubungan sebagai guru
dengan murid:
Di masa hidupnya, beliau juga termasuk
orang yang membantu berdidinya kerajaan Islam Demak. serta ia ikut pula
membantu mendirikan Masjid Agung di kota Bintoro Demak. Pada masa
hidupnya Sunan Bonang pernah belajar ke Pasai. Pada saat itu di Pasai
terdapat perguruan tinggi Islam, dengan kata lain Sunan Bonang juga
alumni perguruan tinggi Islam yang sudah berkembang pesat di Aceh.
Sekembalinya dari Pasai, Sunan Bonang memasukkan pengaruh Islam ke dalam
kalangan bangsawan dari keraton Majapahit, serta mempergunakan Demak
sebagai tempat berkumpul bagi para murid-muridnya. Sunan Bonang juga
adalah yang memberikan pendidikan Islam kepada Raden Patah putera dari
Brawijaya V, dari kerajaan Majapahit, dan menyediakan Demak sebagai
tempat untuk mendirikan negara Islam. hal ini terlihat dari kepintaranya
yang tampak berpolitis, dan Sunan Bonangpun rupanya tercapai
cita-citanya (impian) atas terbangunnya kerajaan Islam di Demak. Sunan
Bonang diperkirakan lahir pada tahun 1465 M, serta meninggal dunia pada
tahun 1525 M.
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, nama ini lambatlaun berubah pengucapannya menjadi Fattahi’lah.[10]
Fatahillah dikenal juga sebagai ulama yang pemberani dalam perperangan,
ia mengusir Portugis dari pelabuhan perdagangan Sunda Kelapa, dan
kemudian memberi nama daerah tersebut dengan nama “Jayakarta” yang
berarti Kota Kemenangan. Kemudian berubah lagi namanya menjadi
Jakarta yang kita kenal salama ini. Fatahillah adalah anak dari salah
seorang wazir (petinggi kerajaan), dan ia sekaligus juga seorang ulama
yang kemudian pergi meninggalkan Pasai menuju Mekah, ketika daerah
tersebut dikuasai oleh Portugis. Pada saat Fatahillah kembali ke Pasai,
ternyata Pasai masih dikuasai oleh Portugis sehingga ia menuju ke Demak
pada awal abad ke 15 M, Demak dimana pada masa itu pemerintahan Raden
Trenggono. Kemudian Fatahillah dinikahkan dengan salah seorang adik
Sultan Trenggono. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa, Fatahillah
pergi ke Mekkah selama tiga tahun untuk memperdalam ilmu agama.
Kedatangan Fatahillah ke Jawa pada saat itu disambut sangat baik oleh
Sultan Demak (Pangeran Trenggono). Kemudian Sultan Demak memberikan
dukungan penuh kepada Fatahillah untuk merebut Sunda Kelapa dan Banten
dari kerajaan Pajajaran yang bersekongkol dengan Portugis, dan
Fatahillah mendapat kemenangan. Pada tahun 1527 M, dan atas prestasi
besar yang di perolehnya itu maka ia diangkat menjadi Bupati Sunda
Kelapa oleh Sultan Demak. Kemudian pada tanggal 22 Juni 1527 Fatahillah
mengubah nama Bandar Sunda Kelapa menjadi nama Jayakarta. Inilah cikal
bakal awal berdirinya kota Jakarta sebagai ibu kota Negara Republik
Indonesia.
Bibliografi:
Anwar, Rosihan, Kerajaan Islam Samudra Pasai , Harian Kedaulatan Rakyat, (Yogyakarta: 15 Maret 1988)
Arifin, Abdul Hadi, Malikussaleh Reinterpretasi Penyebaran Islam Nusantara, (Lhokseumawe: Unimal Press, 2005)
Azra, Ayzumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauwan Nusantara Abad 17 Dan Abad Ke 18, (Bandung: Mizan, 1994).
Jakup, Ismail, Sejarah Islam di Indonesia, (Jakarta: Widjaya)
[1] Lihat : “Kerajaan Islam Samudra Pasai ” H. Rosihan Anwar, Harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, 15 Maret 1988
[2]
Christiaan Snouck Hurgroje adalah Orientalis Belanda yang pernah
mempelajari Islam sampai pergi ke tanah Arab, dan ia tiba di Jeddah pada
tanggal 28 Agustus 1884. Dalam upayanya itu ia berpura-pura memeluk
agama Islam (menggati namanya menjadi Abdul Gaffar) untuk kelancaranya
mengali informasi kelemahan umat Islam, di Mekkah. Atas saranya itu
pemerintah Hindia Belanda menerapkan divide et impera (politik adu domba) di Nusantara khususnya di Aceh untuk memecah perjuangan umat Islam.
[3] Sir TS. Raffles adalah Gubernur Jendral Hindia Belanda dari Kerajaan Inggris yang juga seorang peneliti sosial, dalam bukunya The History of Java.
[4]
Kata Jeumpa dengan Aceh di Nusantara, sering dikaitkan dengan
puteri-puterinya yang cerdas dan cantik jelita, di karenakan buah
persilangan antara Arab, Parsi, India dan Melayu, yang di Aceh.
Kecantikan dan kecerdasan puteri-puteri Jeumpa (Aceh) sudah menjadi
wacana tersendiri bagi pembesar-pembesar istana Perlak, Pasai, Malaka,
bahkan sampai ke Jawa. Oleh karena itu seorang raja Jawa Maharaja
Majapahit, Barawijaya V sangat mendambakan seorang permaisuri dari
Jeumpa. Bahkan dalam Babat Tanah Jawi, disebutkan bagaimana sang Prabu
mabok kepayangnya ketika bertemu dengan Puteri Jeumpa yang datang
bersama dengan rombongan Maulana Malik Ibrahim.
[5]
Permaisurinya Maha Prabu Brawijaya V adalah Puteri Jeumpa yang berasal
dari Aceh, dari pasangan ini kemudian melahirkan Raden Fatah, Sultan
pertama Kerajaan Islam Demak, kerajaan Islam pertama di tanah Jawa.
[6] lihat Martin Van Bruinessen yang telah memetik tulisan dari Saiyid ‘Al-wi Thahir al-Haddad, dalam bukunya Kitab Kuning.
[7] Lihat versi Meinsma, dalam Babad Tanah Jawi. Ia menyebutkan Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah orang Jawa terhadap As-Samarqandy.
[8] Lihat Ayzumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauwan Nusantara Abad 17 Dan Abad Ke 18, (Bandung: Mizan, 1994).
[9] Nama Syekh Ainul Yaqin diperoleh ketika ia telah tamat menuntut ilmu di Pasai, “Ainul Yaqin” yang di sandang itu adalah pemberian dari gurunya yang berada di Pasai. Dan Raden Paku berhasil mendapat Ilmu Laduni.
[10] Ismail Jakup, Sejarah Islam di Indonesia, (Jakarta: Widjaya) hlm 31.
0 tanggapan:
Posting Komentar
Terimakasih atas kunjungannya dalam demensi lain mank obyd